Tren Surrogate Mother, Bolehkah di Indonesia?

Tren Surrogate Mother, Bolehkah di Indonesia?

Dengan perkembangannya teknologi medis yang pesat, pasangan yang sedang mengalami masalah kesuburan memiliki beberapa pilihan solusi yang bisa dicoba.

Pada umumnya, dokter akan menawarkan opsi untuk mencoba kehamilan alami, inseminasi hingga IVF, tergantung dari kondisi pasangan suami istri tersebut. 

Namun, ada juga metode yang menggunakan rahim wanita lain untuk membantu pasangan suami istri mendapatkan keturunan. Metode ini disebut dengan nama surrogate mother atau ibu pengganti. Adapun beberapa selebriti yang telah mencoba surrogate mother untuk mendapatkan keturunan seperti Kim Kardashian, Chrissy Teigen, Michael Jackson, Sarah Jessica Parker, Neil Patrick Harris, dan juga Jimmy Fallon.

Namun apakah metode ini legal di Indonesia?

Agar lebih jelas yuk baca artikel berikut ini! 

Apa itu Surrogate Mother?

Surrogate memiliki arti substitusi dimana seseorang menggantikan tugas orang lain. Dengan itu, surrogate mother adalah seseorang yang hamil dan melahirkan dengan tujuan memberikan anak tersebut kepada orang lain atau pasangan lainnya secara sengaja. 

Surrogacy ini bisa menjadi alternatif untuk wanita yang tidak memiliki rahim, kelainan pada rahim, mengalami keguguran berulang, sulit mempertahankan kehamilan hingga cukup bulan, memiliki masalah kesehatan yang berat, atau memiliki kontraindikasi lainnya untuk kehamilan. Selain itu, surrogacy juga bisa dilakukan oleh pria yang tidak memiliki testis atau azoospermia, pasangan LGBT, ataupun orang dewasa single yang ingin memiliki anak biologis. 

Pada umumnya, ada 2 tipe dari surrogacy yaitu:

  • Gestational
  • Traditional

  • Perbedaan diantaranya adalah pada tipe gestational, sel telur yang sudah dibuahi oleh pasangan dengan cara in vitro fertilization (IVF) akan dimasukkan kepada rahim surrogate. Dengan itu, surrogate mother menjalani perannya untuk “menitip” janin hingga persalinan. 

    Sedangkan pada tipe traditional, sel telur yang digunakan adalah sel telur dari surrogate mother sehingga kehamilan didapatkan melalui cara intrauterine insemination (IUI) dengan sperma yang berasal dari calon ayah.

    Seorang wanita yang ingin menjadi seorang surrogate mother harus memenuhi beberapa kriteria tertentu termasuk lolos dari skrining kesehatan yang cukup ketat. 

    Setelah melalui pemeriksaan, surrogate mother akan mengkonsumsi tablet estrogen mulai dari siklus hari ke 3 selama 10 hari untuk menebalkan rahim. Setelah mencapai minimal 8 mm, surrogate mother akan diberikan suplementasi progesteron untuk 3 hingga 5 hari sebelum transfer blastokista yang direncanakan. 

    Pada saat kehamilan telah terkonfirmasi, surrogate mother diberikan pilihan untuk tinggal di rumah surrogate atau di rumah pribadinya. Rumah surrogate merupakan tempat dimana disediakan seluruh keperluan pribadi dan medis seperti dokter kandungan, ahli gizi, fisioterapi dan juga konselor. Meski demikian, seorang surrogate mom dapat berkunjung ke rumah pribadinya. 

    Pandangan Sosial dan Etika Terhadap Surrogate Mother

    Ada banyak perdebatan terkait surrogate mother ini, bisa ditinjau dari sisi etika, religi atau keagamaan, ekonomi, sosial, dan juga psikologi.

    Dari sisi etika, seorang wanita memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Akan tetapi di sisi lain, surrogacy menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya eksploitasi karena seorang wanita dibayar untuk hamil dan melahirkan. 

    Ini juga menimbulkan perdebatan secara etik yang mempertanyakan apakah seorang anak yang terlahir dari surrogate mom boleh mengetahui identitas orang-orang yang terlibat dalam konsepsi dan persalinannya. 

    Praktik surrogate mother bisa dilakukan oleh kerabat atau keluarga yang ingin membantu seorang pasangan memiliki anak, namun ada juga wanita yang menyewakan rahimnya dengan tujuan mendapat imbalan finansial. Dengan itu, praktik ini bisa mengeksploitasi kalangan ekonomi rentan. 

    Lalu, sari segi keagamaan, praktik surrogate mother belum dapat diterima oleh agama Islam dan Katolik. 

    Adapun stigma sosial yang melekat dari praktik surrogate mother ini. Praktik ini masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan kontroversial. Meski demikian, ada pandangan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor budaya dan juga normal sosial yang berlaku pada masing-masing pasangan yang mempertimbangkan opsi ini. 


    Dari sisi psikologi, tentunya akan ada ikatan emosional antara wanita dengan bayi yang dikandung. Hal ini juga akan mempengaruhi kondisi psikologis para wanita yang menjadi surrogate mother. Setelah selesai proses, surrogate mom akan berpisah dengan bayi yang telah dititipkan. 

    Tidak semua Mom bisa menjalani proses ini dengan mudah. Dampak psikologis yang harus dihadapi tidak hanya dirasakan oleh surrogate mom, namun juga oleh orang tua biologis.

    Orang tua biologis bisa memiliki kekhawatiran terkait dengan kehamilan dan kelahiran bayi mereka. Pembentukan ikatan antara orang tua biologis dengan anak yang melalui surrogate mom juga memiliki tantangannya tersendiri. 

    Bolehkah Menggunakan Surrogate Mother di Indonesia?

    Meskipun surrogate mother bisa menjadi salah satu pilihan bagi para pasangan yang mengalami infertilitas, praktik ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Upaya kehamilan di luar cara yang alamiah diatur dengan Undang Undang Kesehatan Pasal 127 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009, dimana ibu pengganti atau menyewa rahim tidak diperbolehkan. 

    Hingga saat ini, contoh negara yang memperbolehkan praktik surrogate mother adalah Amerika, Kanada, dan India.

    Meski demikian, setiap tempat memiliki peraturan yang berbeda. Contohnya, sebagian besar negara di Amerika Selatan tidak memperbolehkan praktik ini.

    Dengan demikian, kita mengetahui akan kompleksitas dan tantangan yang terlibat dalam praktik surrogate mother. 

    Hingga saat ini surrogate mother belum diperbolehkan di Indonesia. Meski demikian, tersedia pilihan lainnya bagi para pasangan yang mengalami kesulitan memiliki anak secara alami seperti program hamil dengan inseminasi hingga bayi tabung.

    Adapun pilihan untuk mengadopsi anak bagi yang berkenan.

    Sampai jumpa di artikel berikutnya! 

    Ditulis oleh: dr Florencia Adeline

    Sumber: 

    Patel, N. H., Jadeja, Y. D., Bhadarka, H. K., Patel, M. N., Patel, N. H., & Sodagar, N. R. (2018). Insight into Different Aspects of Surrogacy Practices. Journal of human reproductive sciences, 11(3), 212–218. https://doi.org/10.4103/jhrs.JHRS_138_17

    van den Akker O. B. (2007). Psychosocial aspects of surrogate motherhood. Human reproduction update, 13(1), 53–62. https://doi.org/10.1093/humupd/dml039

    Viveca Söderström-Anttila and others, Surrogacy: outcomes for surrogate mothers, children and the resulting families—a systematic review, Human Reproduction Update, Volume 22, Issue 2, March/April 2016, Pages 260–276, https://doi.org/10.1093/humupd/dmv046

    Dewi Judiasih, S., & Suparto Dajaan, S. (2017). Aspek Hukum Surrogate mother Dalam Perspektif hukum Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum, 1(2), 141–150. https://doi.org/10.23920/jbmh.v1n2.14 

    Kembali ke blog

    Tulis komentar

    Ingat, komentar perlu disetujui sebelum dipublikasikan.